SISTEM AKUAKULTUR MULTITROFIK TERPADU :
"Solusi Terkini Sistem Akuakultur Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan"
Ketika membaca The State of World Fisheries and Aquaculture yang
dirilis oleh FAO (2012) kembali mengejutkan saya. Pada alinea awal, sub
bab aquaculture, halaman 24 tertulis jelas bahwa " aquaculture has also evolved in terms of technological innovation and adaptation to meet changing requirement". Pernyataan
ini menunjuk jelas terhadap kebutuhan produk-produk akuatik sebagai
sumber protein utama bagi penduduk dunia. Namun demikian, sangat
kontradiktif jika dilihat bahwa lebih dari 60 % produk akuakultur
dihasilkan dari kegiatan budidaya ikan skala kecil dan ekstensif.
Di Indonesia,
meskipun dikenal sebagai negara penghasil produk perikanan nomor 5
dunia, tetapi secara teknologi, tidak ada bedanya dengan kegiatan
budidaya ikan di zaman Majapahit. Peningkatan produksi lebih dikarenakan
oleh perluasan areal (ektensif) bukan karena sentuhan teknologi.
Akibatnya, luas hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak semakin
menghawatirkan, badan sungai dan danau tertutup karamba-karamba ikan,
konflik sosial yang terjadi meningkat karena bersinggungan dengan sektor
industri lain.
Kekeruhan,
peningkatan bahan organik, konsentrasi oksigen terlarut yang rendah,
amoniak, nitrit, cemaran logam berat dan pestisida adalah beberapa
parameter kualitas air yang menjadi isu utama penyebab kegagalan panen
akuakultur berbasis open water ini.
Masa depan
akuakultur bagi daerah dengan intensitas industri tinggi seperti
Kalimantan Timur ini, mau tidak mau harus mulai di arahkan pada sistem
akuakultur berbasis daratan (land-based aquaculture). Untuk itu,
diperlukan inovasi teknologi terkait dengan sistem apa yang dapat
diimplementasikan kepada masyarakat akuakultur yang semakin terjepit
ini.
Sistem akuakultur multitrofik terpadu (Integrated Multi-Trophic Aquaculture, IMTA)
adalah konsep teknologi akuakultur yang diharapkan bisa menjawab
berbagai permasalahan di atas. IMTA mengedepankan sistem alami sehingga
lebih ramah lingkungan dalam proses produksinya. Di mana, sistem IMTA
melibatkan berbagai level trofik organisme menurut tatanan rantai
makanan (food webs) yang terpadu di dalam satu sistem.
Gambar 1. Konfigurasi sistem IMTA yang dikembangkan di FPIK-Universitas Mulawarman
IMTA akan
menghasilkan multi organisme (karnivora dan herbivora) sebagai
produknya, meremediasi limbah secara otomatis karena melibatkan
organisme heterotrofik dan fototrofik sebagai biofilter, sehingga
meminimalkan buangan limbah nutriennya, bahkan lebih mengarah pada zero-waste discharge jika diaplikasikan pada sistem akuakultur resirkulasi.
Berdasarkan
pada hasil penelitian tahun 2012, sistem IMTA sebagaimana Gambar 1 di
atas, dimana volume air 2,2 meter kubik, ukuran bak 2 x 1 meter, dan 8
buah talang air dengan panjang masing-masing 2 meter sebagai jalur
biofilter, serta hanya menggunakan pompa 13 watt untuk mendorong
sirkulasi air, telah dapat menghasilkan 23,56 kg ikan betok; 36,85 kg ikan nila; 1,139 kg kangkung, 333,6 g kemangi, 217,6 g Sawi dan 789.533 individu cacing sutera.
sumber : Bapak Sumoharjo